Monday, March 13, 2006

ALERGI MAKANAN DAN GANGGUAN PERILAKU ANAK

Widodo Judarwanto, Rumah Sakit Bunda Jakarta


Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak.
Alergi pada anak tidak sesederhana seperti yang pernah kita ketahui. Sebelumnya kita sering mendengar dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter anak, dokter spesialis yang lain bahwa alergi itu gejala adalah batuk, pilek, sesak dan gatal. Padahal alergi dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Beberapa peneliti menyebutkan manifestasi gejala tersebut dengan istilah “Brain Allergy” atau “Cerebral Allergy”. Karena gangguan fungsi otak itulah maka timbul gangguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga autism.
Resiko dan tanda alergi dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam kandunganpun kadang-kadang sudah dapat terdeteksi. Alergi itu dapat dicegah sejak dini dan diharapkan dapat mengoptimalkan tumbuh dan kembang anak secara optimal.


ALERGI MAKANAN
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan system tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasaranya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV.
Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi murni, Banyak terjadi penggunaan istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari makanan, baik yang imunologik atau non imunologik. Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and immunology,The National Institute of Allergy and infections disease yaitu :
Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions) : istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan (hipersensitifiotas) atau intoleransi makanan.
Sedangkan intoleransi Makanan (Food intolerance) adalah reaksi makanan nonimunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase atau respon idiosinkrasi pada pejamu
MANISFESTASI KLINIK
Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi tidak menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan depannya diare selanjutrnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana keluhan yang berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas dasar target organ (organ sasaran).
Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan karena proses alergi pada seseorang anak yang dapat menggganggu semua sistem tubuh dan organ tubuh anak.. Organ tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih banyak dari organ yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak terungkap. Gejala tergantung dari organ atau sistem tubuh , bisa terpengaruh bisa melemah. Jika organ sasarannya paru bisa menimbulkan batuk atau sesak, bila pada kulit terjadi dermatitis atopik. Tak terkecuali otakpun dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi organ terpeka pada manusia adalah otak, sehingga dapat dibayangkan banyaknya gangguan yang bisa terjadi.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dan patogenesis alergi mengganggu system susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang bisa menjelaskan, diantaranya adalah : Alergi makanan mengganggu organ sasaran, Teori Abdominal Brain dan Enteric Nervous Sistem, pengaruh reaksi hormonal pada alergi, teori Metabolisme sulfat
Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan inflamasi. Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang kompleks.
Pada alergi dapat menimbulkan gangguan pencernaan baik karena kerusakan dinding saluran pencernan atau karena disfungsi sistem imun itu sendiri. Sedangkan gangguan pencernaan itu sendiri ternyata dapat mempengaruhi system susunan saraf pusat termasuk fungsi otak.Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal Hypermeability atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Golan dan Strauss tahun 1986 melaporkan adanya Abdominal epilepsy, yaitu adanya gangguan pencernaan yang dapat mengakibatkan epilepsi.
Gangguan Metabolisme sulfat juga diduga sebagai penyebab gangguan ke otak. Bahan makanan mengandung sulfur yang masuk ke tubuh melalui konjugasi fenol dirubah menjadi sulfat dibuang melalui urine. Pada penderita alergi yang mengganggu saluran cerna diduga juga terjadi proses gangguan metabolisme sulfur. Gangguan ini mengakibatkan gangguan pengeluaran sulfat melalui urine, metabolisme sulfur tersebut berubah menjadi sulfit. Sulfit inilah yang mengganggu organ kulit penderita. Diduga sulfit dan beberapa zat toksin inilah yang dapat menganggu fungsi otak.
Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak penelitian. Sedangatan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik tersendiri. Lynch JS tahun 2001 mengemukakan bahwa pengaruh hormonal juga terjadi pada penderita rhinitis alergika pada kehamilan. Sedangkan Landstra dkk tahun 2001 melaporkan terjadi perubahan penurunan secara bermakna hormone cortisol pada penderita asma bronchial saat malam hari. Penemuan bermakna dilaporkan Kretszh dan konitzky 1998, bahwa hormon alergi mempengarugi beberapa manifestasi klinis sepereti endometriosis dan premenstrual syndrome. Beberapa laporan lainnya menunjukkan keterkaitan alergi dengan perubahan hormonal diantaranya adalah cortisol, metabolic, progesterone dan adrenalin.
Pada penderita alergi didapatkan penurunan hormon kortisol, esterogen dan metabolik. Penurunan hormone cortisol dapat menyebabkan allergy fatigue stresse, sedangkan penurunan hormone metabolic dapat mengakibatkan perubahan berat badan yang bermakna. Hormona lain uang menurun adalah hormone esterogen. Alergi juga dikaitkan dengan peningkatan hormon adrenalin dan progesterone. Peningkatan hormon adrenalin menimbulkan manifestasi klinis mood swing, dan kecemasan. Sedangkan penongkatan hormone progesterone mengakibatkan gangguan kulit, Pre menstrual Syndrome, Fatigue dan kerontokan rambut.
Gambar 1 . Beberapa Hormon yang berkaitan dengan alergi dan gejalanya
Gambar 2. Hubungan biologis antara sistem imun dengan Sistem Susunan Saraf Pusat berkaitan dengan hormonal.
ALERGI, SISTEM SUSUNAN SARAF PUSAT DAN GANGGUAN PERKEMBANGAN- PERILAKU
Sistem susunan saraf pusat adalah bagian yang paling lemah dan sensitif dibandingkan organ tubuh lainnya. Otak adalah merupakan pusat segala koordinasi sistem tubuh dan fungsi luhur. Sedangkan alergi dengan berbagai akibat yang bisa mengganggu organ sistem susunan saraf pusat dan disfungsi sistem imun itu sendiri tampaknya menimbulkan banyak manifestasi klinik yang dapat mengganggu perkembangan dan perilaku seorang anak.
Dampak Penyakit Alergi pada Fungsi Otak, diamati oleh G. Kay, Associate Professor Neurology dan Psychology Georgetown University School of Medicine Washington. Dampak penyakit alergi pada fungsi otak bermanifestasi sebagai menurunnya kualitas hidup, menurunnya suasana kerja yang baik, dan menurunnya efisiensi fungsi kognitif. Pasien dengan rinitis alergik dilaporkan mengalami penurunan kualitas hidup yang sama dengan yang dialami pasien-pasien dengan asma atau penyakit kronik serius lainnya. Penyakit alergi tidak saja mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tetapi juga mengganggu aktivitas di waktu luang.
Beberapa studi empiris menunjukkan efek alergi terhadap fungsi kognitif dan mood. Marshall dan Colon tahun 1989 membuktikan bahwa pada kelompok pasien dengan rinitis alergi musiman mempunyai fungsi belajar verbal dan mood yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa serangan alergi. Pada dua penelitian yang dilakukan oleh Vuurman, dkk dibuktikan bahwa kemampuan mengerjakan tugas sekolah pada murid-murid penderita alergi lebih buruk dibandingkan kemampuan murid-murid lain dengan usia dan IQ yang sesuai tetapi tidak memiliki bakat alergi (non-atopik).
Beberapa peneliti lain menunjukkan adanya hubungan antara penyakit alergi dengan gangguan kepribadian seperti sifat pemalu dan sifat agresif. Pada tes kepribadian dapat terlihat bahwa pasien-pasien alergi lebih bersifat mengutamakan tindakan fisik, lebih sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, dan mempunyai mekanisme defensif yang kurang baik. Jumlah serangan alergi yang dilaporkan oleh pasien ternyata berhubungan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Alergi yang berkaitan dengan gangguan system susunan saraf pusat dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinik, diantara dapat mengganggu neuroanatomi dan neuroanatomi fungsional.

GANGGUAN NEUROANATOMI
Alergi dengan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan gangguan neuroanatomi tubuh dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti sakit kepala, migrain, vertigo, kehilangan sesaat memori (lupa). Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut, misalnya Krotzky tahun 1992 mengatakan migraine, vertigo dan sakit kepala dapat disebabkan karena makanan alergi atau kimiawi lainnya.
Strel'bitskaia tahun 1974 mengemukakan bahwa pada penderita asma didapat gangguan aktifitas listrik di otak, meskipun saat itu belum bisa dilaporkan kaitannya dengan manifestasi klinik.

GANGGUAN NEURO ANATOMI FUNGSIONAL DAN GANGGUAN PERKEMBANGAN DAN PERILAKU
Reaksi alergi dengan berbagai manifestasi klinik ke sistem susunan saraf pusat dapat mengganggu neuroanatomi fungsional, selanjutnya akan mengganggu perkembangan dan perilaku pada anak.Yang dimaksud dengan gangguan perkembangan adalah gangguan fungsi psikomotor yang mencakup fungsi mental dan fungsi motorik. Anggota gerak atau organ tulang rangka dapat juga terkena gangguan perkembangan.























GANGGUAN PERILAKU YANG SERING DIKAITANKAN DENGAN ALERGI MAKANAN
· GERAKAN MOTORIK BERLEBIHAN
usia <> 6 bulan bila digendong sering minta turun atau sering bergerak/sering menggerakkan kepala ke belakang-membentur benturkan kepala. Sering bergulung-gulung di kasur, menjatuhkan badan di kasur (“smackdown”}, sering memanjat. Gejala “Tomboy” pada anak perempuan.
· GANGGUAN TIDUR (biasanya MALAM-PAGI) gelisah/bolak-balik ujung ke ujung, bila tidur posisi “nungging”, berbicara/tertawa/berteriak dalam tidur, sulit tidur, malam sering terbangun/duduk, gelisah saat memulai tidur, gigi gemeretak (beradu gigi), tidur ngorok
· AGRESIF sering memukul kepala sendiri,orang atau benda di sekitarnya. Sering menggigit, mencubit, menjambak (spt “gemes”)
· GANGGUAN KONSENTRASI : CEPAT BOSAN terhadap sesuatu aktifitas (kecuali menonton televisi, baca komik atau main game), TIDAK BISA BELAJAR LAMA, terburu-buru, tidak mau antri, TIDAK TELITI, sering kehilangan barang atau sering lupa, nilai pelajaran naik turun drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Sulit menyelesaikan pelajaran sekolah dengan baik.Sering mengobrol dan mengganggu teman saat pelajaran. BIASANYA ANAK TAMPAK CERDAS DAN PINTAR.
· GANGGUAN EMOSI (mudah marah, sering berteriak /mengamuk/tantrum), keras kepala, suka membantah dan sulit diatur. Cengeng atau mudah menangis.
· GANGGUAN PERKEMBANGAN MOTORIK :
Tidak bisa BOLAK-BALIK, DUDUK, MERANGKAK sesuai usia. Berjalan sering terjatuh dan terburu-buru, sering menabrak, jalan jinjit, duduk leter W/kaki ke belakang.
· KETERLAMBATAN BICARA
Tidak mengeluarkan kata umur <> 2 tahun membaik.
· IMPULSIF : banyak bicara/tertawa berlebihan, sering memotong pembicaraan orang lain
· Memperberat gejala HIPERAKTIF (ADHD/ADD) dan AUTISME



































PENATALAKSANAAN
Penanganan alergi pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut.
Obat-obatan simtomatis, anti histamine (AHi dan AH2), ketotifen, ketotIfen, kortikosteroid, serta inhibitor sintesaseprostaglandin hanya dapat mengurangi gejala sementara, tetapi umumnya mempunyai efisiensi rendah. Sedangkan penggunaan imunoterapi dan natrium kromogilat peroral masih menjadi kontroversi hingga sekarang.
Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lain harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik, sistemik atau psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak.
Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan manifestasi alergi lainnya jelas pada anak tersebut, maka tidak ada salahnya dilakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan eliminasi terbuka. Pengobatan tersebut harus dievaluasi dalam 3 minggu dengan memakai catatan harian. Bila gangguan perkembangan dan perilaku tersebut terdapat perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa gangguan tersebut penyebab atau pencetusnya adalah alergi makanan.
Sedangkan untuk mengatasi gejala gangguan perkembangan dan perilaku yang sudah ada dapat dilakukan pendekatan terapi dengan terapi okupasi, terapi bicara, terapi sensory integration, hearing atau vision therapy dan sebagainya.

PROGNOSIS
Prognosis gangguan perkembangan dan perilaku yang berkaitan dengan alergi tergantung dari ada tidaknya kelainan organik otak seperti autism atau adanya fokus di otak. Bila dipastikan tidak ada kelainan anatomis otak maka prognosisnya akan lebih baik. Biasanya bila gangguan tersebut dikendalikan maka akan terlihat secara drastis perbaikkan gangguan perkembangan dan perilaku tersebut. Pada gangguan jenis ini usia di atas 2 hingga 5 tahun ada kecenderungan membaik.
Namun bila didapatkan autism atau gangguan organik otak lainnya maka prognosisnya lebih buruk. Namun bila gangguan tersebut diperberat oleh pencetus alergi maka penatalaksanaan alergi dengan pengaturan diet akan sangat banyak membantu mengoptimalkan kemampuan hidup penderita.
PENUTUP
Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang diketahui. Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu dan bahaya komplikasi yang terjadi tampaknya merupakan akibat yang harus lebih diperhatikan demi terbentuknya tumbuhan dan kembang anak yang optimal.
Gangguan alergi dapat menggganggu neuroanatomis dan neuroanatomis fungsional yang mengkibatkan gangguan perkembangan dan perilaku pada anak. Resiko dan gejala alergi bisa diketahui dan di deteksi sejak dalam kandungan dan sejak lahir, sehingga pencegahan gejala alergi dapat dilakukan sedini mungkin. Resiko terjadinya komplikasi dan gangguan sistem susunan saraf pusat diharapkan dapat dikurangi.
Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lainnya adalah harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik, sistemik atau psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak. Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan gangguan anatomis otak belum jelas maka bisa saja dilakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan diet eliminasi terbuka evaluasi perubahan atau perbaikan dari gangguan perilaku yang timbul.

X. Daftar Pustaka

1. Bazyka AP, Logunov VP. Effect of allergens on the reaction of the central and autonomic nervous systems in sensitized patients with various dermatoses] Vestn Dermatol Venerol 1976 Jan;(1):9-14
2. Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy 1984;14:499-500.
3. Boris, M & Mandel, E. Food additives are common causes of the Attention Deficit Hyperactivity Disorder in Children. Annals of Allergy 1994; 75(5); 462-8
4. Carter, C M et al. Effects of a few foods diet in attention deficit disorder. Archives of Disease in Childhood (69) 1993; 564-8
5. Costa M, Brookes SJ. The enteric nervous system. Am J Gastroenterol 1994;89:S29-137.
6. Doris J Rapp. Allergies and the Hyperactive Child
7. Egger, J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985: 540-5
8. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, van Aalderen WM. Role of serum cortisol levels in children with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2002 Mar 1;165(5):708-12 Related Articles, Books, LinkOut
9. Goyal RK, Hirano I. The enteric nervous system. N Engl J Med 1996;334:1106-1115.
10. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64.
11. Harsono A. Alergi makanan. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Ikatan dokter Anak Indonesia jakarta 1996.
12. Judarwanto W. Dietery Intervention as Therapy for behaviour problem in Children with Gastrointestinal Allergy. Presented at World Congress Pediatric Gastroenterology Hepatology Nutrition, Paris, Juli 2004.

13. Judarwanto W. “Dietery Intervention as a therapy for Sleep Difficulty in Children with Gastrointestinal Allergy”; pada “24TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCÚN MÉXICO”, 15-20 Agustus,2004.
14. Judarwanto W.. “Dietery Intervention as a therapy for Headache in Children with Gastrointestinal Allergy”; pada “8th Asian & Oceanian Congress of Child Neurology, Newdelhi India”, 7 – 10 Oktober, 2004.
15. Kretszh, Konitzky. Differential Behavior Effects of Gonadal Steroids in Women And In Those Without Premenstrual
16. Loblay, R & Swain, A. Food intolerance In Wahlqvist M and Truswell, A (Eds) Recent Advances in Clinical Nutrition. John Libby, London. 1086.pp.1659-177.
17. Lynch JS. Hormonal influences on rhinitis in women. Program and abstracts of 4th Annual Conference of the National Association of Nurse Practitioners in Women's Health. October 10-13, 2001; Orlando, Florida. Concurrent Session K New England Journal of Medicine 1998:1246142-156.
18. Menage P, Thibault G, Martineau J, Herault J, Muh JP, Barthelemy C, Lelord G, Bardos P. An IgE mechanism in autistic hypersensitivity? .Biol Psychiatry 1992 Jan 15;31(2):210-2
19. O'Banion D, Armstrong B, Cummings RA, Stange J. Disruptive behavior: a dietary approach. J Autism Child Schizophr 1978 Sep;8(3):325-37
20. Stubner UP, Gruber D, Berger UE, Toth J, Marks B, Huber J, Horak F. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999 Aug;54(8):865-71

21. Renzoni E, Beltrami V, Sestini P, Pompella A, Menchetti G, Zappella M. Brief report: allergological evaluation of children with autism.: J Autism Dev Disord 1995 Jun;25(3):327-33

22. Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3.
23. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003
24. Rowe, K S & Rowe, K L. Synthetic food colouring and behaviour: a dose-response effect in a double-blind, placebo-controled, repeated-measures study. Journal of Paediatrics (125);1994;691-698.
25. Trotsky MB. Neurogenic vascular headaches, food and chemical triggers. Ear Nose Throat J. 1994;73(4):228-230, 225-236.
26. Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342.
27. Vaughan TR. The role of food in the pathogenesis of migraine headache. Clin Rev Allergy 1994;12:167-180.
28. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling, William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.
29. Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone.
30. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour.
31. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.

MAKANAN PENYEBAB GANGGUAN OTAK DAN PERILAKU

Dr Widodo Judarwanto SpA
Children Allergy Center, Rumah Sakit Bunda Jakarta
Klinik Biomedis Gangguan Perilaku Anak, Children Family Clinic Jakarta



Setelah menghindari makanan tertentu seperti coklat, keju dan makanan sejenisnya perilaku emosi, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi si Udin secara drastis membaik. Belakangan banyak penelitian mengungkapkan beberapa jenis makanan dengan mekanisme tertentu ternyata sangat mempengaruhi gangguan fungsi otak dan perilaku anak.
Setiap mendengar keluhan gangguan kulit karena makanan, pasti alergi dianggap sebagai biang penyebabnya. Masih banyak masyarakat awam bahkan beberapa kalangan klinisi menganggap semua gangguan kulit karena makanan sering disebut sebagai alergi makanan. Padahal sebenarnya reaksi yang disebabkan karena makanan bukan hanya karena reaksi alergi makanan. Istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang masuk saluran cerna manusia sering disebut sebagai reaksi simpang makanan. Reaksi tersebut dapat diperantarai oleh mekanisme yang bersifat imunologi, farmakologi, toksin, infeksi, idiosinkrasi, metabolisme serta neuropsikologis terhadap makanan. Reaksi simpang makanan bisa karena reaksi toksis seperti keracunan makanan. Selain itu bisa karena reaksi non toksis dengan melalui mekanisme imunologis seperti reaksi alergi makanan, penyakit celiac, gangguan absorbsi protein dan sindrom heiners. Sedangkan reaksi non toksis yang melalui mekanisme non imunologis adalah intoleransi makanan, reaksi psikologis dan sebagainya. Dari semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan dan zat aditif makanan hanya sekitar 20% disebabkan karena alergi makanan.
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV.
Intoleransi makanan adalah reaksi makanan nonimunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi laktase, maltase atau respon idiosinkrasi pada pejamu.
Reaksi simpang makanan yang juga sering dilaporkan adalah penyakit Celiac. Gangguan ini melalui mekanisme imunologis. Tidak seperti alergo makanan, pada penyakit Celiac immunoglobulin E tidak berperanan dalam proses penyakit. Penyakit. Celiac adalah penyakit kronik inflamasi saluran cerna khususnya pada usus halus. Kelainan tersebut dipicu oleh reaksi lambat terhadap protein gluten. Gluten adalah bahan makanan sejenis tepung, sehingga penyakit ini disebut juga Gluten-sensitive Enteropathy. Penyakit ini terjadi pada anak laki dan perempuan. Di Eropa kasus ini cukup tinggi, yaitu sekitar 1 dari 100 orang, bahkan di Inggris sekitar 1 : 77 orang, New Zealand sekitar 1 : 88 orang, di Amerika laporan kasus tidak sebanyak di Eropa. Kasus ini belum banyak dilaporkan di Indonesia, mungkin karena perhatian klinisi masih sangat kurang ditambah alat bantu diagnosis kelainan ini belum selengkap di luar negeri. Di praktek sehari-hari penulis mulai sering menjumpai penderita yang dicurigai sebagai kasus ini. Para pakar ahli pencernaan dunia melaporkan sebenarnya prosentase kasus ini di dunia tidaklah sedikit yaitu sekitar 3 – 5 promil perpenduduk. Gejalanya ditandai dengan gangguan kenaikkan berat badan, gangguan saluran cerna dan gangguan kulit (dermatitis herpetiformis).

GEJALA REAKSI SIMPANG MAKANAN
Reaksi simpang makanan pada umumnya mengganggu saluran cerna tubuh. Beberapa gejala gangguan saluran cerna tersebut sebenarnya sudah tampak sejak lahir. Sejak usia awal kehidupan tampak bayi sering rewel, kolik/menangis terus menerus tanpa sebab pada malam hari, sering cegukan, sering “berak geden”, kembung, sering gumoh, berak berwarna hitam atau hijau, berak timbul warna darah. Sering mengalami ganguan Luang air besar, bisa sulit Luang air besar (tidak tiap hari) atau sering buang air besar. Lidah berwarna putih (“like moniliasis symtomp”) dan drooling (ngiler). Sering timbul gangguan hernia umbilikalis, scrotalis atau inguinalis.
Tampilan klinis gangguan saluran cerna pada anak yang lebih besar adalah gangguan nyeri perut, sering buang air besar (>2 kali/perhari), gangguan buang air besar (kotoran keras, berak, tidak setiap hari, berak di celana, berak berwarna hitam atau hijau, berak ngeden), kembung, muntah, sulit berak, sering buang angin (flatus), sariawan, mulut berbau. Nyeri perut, sering diare, kembung, sering mual atau muntah, konstipasi (sulit berak) , kelaparan, haus, saliva (air liur) meningkat, canker sores (sariawan), stinging tongue (lidah terasa pedih), drooling (ngiler), nyeri gigi, burping (sendawa), retasting foods, gejala sakit mag (nyeri perut ulu hati, muntah, mual, “gelegekan”), swallowing difficulty (kesulitan menelan), abdominal rumbling (perut keroncongan), konstipasi (sulit buang air besar), nyeri perut, passing gas (sering buang angin), timbul lendir atau darah dari rektum, anus gatal atau panas. Bila terjadi gangguan saluran cerna sering disertai kesulitan makan atau gangguan motorik kasar oral (sulit mengunyah langsung ditelan).
Reaksi simpang makanan sering disertai dengan gangguan kulit. Pada bayi sering timbul penebalan merah di daerah pipi popok dan telinga, timbul kerak di kulit kepala. Pada anak yang lebih besar tampak sering gatal, dermatitis, urticaria (biduran), bengkak di bibir, lebam biru kehitaman pada kaki (seperti bekas terbentur), bekas hitam seperti digigit nyamuk, timbul kulit keputihan (seperti panu) dan berkeringat berlebihan. Pada penyakit celiac gangguan kulit berupa dermatitis herpetisformis dan kulit teraba kasar atau kering. Penderita celiac biasanya mengalami gagal tumbuh atau badan kecil dan sangat kurus meskipun banyak makan. Pada penderita reaksi simpang makanan genetik yang kronis seperti penyakit celiac biasanya disertai gangguan kekurangan calsium, B12, B6 (piridoksin), vitamin E, Asam Folat, Karnitin, dan biopterin.kes
MAKANAN, LEAKY GUT DAN GANGGUAN OTAK
Reaksi simpang makanan terjadi pada kelainan bawaan atau genetik seperti alergi makanan, penyakit celiac, intoleransi makanan dan sebagainya biasanya bersifat kronis atau berlangsung lama. Gangguan perilaku yang diduga bersifat genetik seperti Autism, ADHD dan gangguan perilaku lainnya juga sangat berkaitan dengan gangguan metabolisme makanan dan pemberian makanan tertentu. Banyak penelitian menunjukkan dengan melakukan penghindaran makanan tertentu maka gejala gangguan fungsi tubuh dan perilaku dapat diminimallkan.
Reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sensitifitas terhadap makanan tertentu mengakibatkan gangguan permeabilitas (kebocoran) pada saluran cerna atau leaky gut. Banyak penelitian terakhir mengungkapkan bahwa gangguan saluran cerna kronis dengan berbagai mekanisme imunopatofisiologis dan imunopatobiologis ternyata dapat mengganggu susunan saraf pusat manusia. Gangguan saluran cerna tersebut berkaitan gangguan penyerapan dan metabolisme makanan tertentu yang mengakibatkan gangguan beberapa sistem tubuh khususnya susunan saraf pusat atau otak.
Mekanisme bagaimana gangguan saluran cerna mengganggu system susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa teori mekanisme yang bisa menjelaskan, diantaranya adalah teori teori gangguan perut dan otak (Gut Brain Axis), pengaruh metabolisme sulfat, gangguan organ sasaran, dan pengaruh reaksi hormonal pada alergi.
Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Hipermeabilitas Intestinal atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Secara patofisiologi kelainan Leaky Gut Syndrome tersebut salah satunya disebabkan karena alergi makanan. Beberapa teori yang menjelaskan gangguan pencernaaan berkaitan dengan gangguan otak adalah :Kekurangan ensim Dipeptidalpeptidase IV (DPP IV). pada gangguan pencernaan ternyata menghasilkan zat caseo morfin dan glutheo morphin (semacam morfin atau neurotransmiter palsu) yang mengganggu dan merangsang otak. Teori pelepasan opioid (zat semacam opium) ikut berperanan dalam proses di atas. Hal tersebut juga sudah dibuktikan penemuan seorang ahli pada binatang anjing. Setelah dilakukan stimulasi tertentu pada binatang anjing, ternyata didapatkan kadar opioid yang meningkat disertai perubahan perilaku pada binatang tersebut.
Teori Enteric nervous brain juga mungkin yang mungkin bisa menjelaskan adanya kejadian abdominal epilepsi, yaitu adanya gangguan pencernaan khususnya nyeri perut yang dapat mengakibatkan epilepsi (kejang) pada anak atau orang dewasa. Beberapa laporan ilmiah menyebutkan bahwa gangguan pencernaan atau nyeri perut berulang pada penderita berhubungan dengan kejadian epilepsi.
Alergi sebagai salah satu penyebab reaksi simpang makanan adalah suatu proses inflamasi. Reaksi alergi tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks. Berbagai zat hasil, proses alergi seperti sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan dalam peradangan di organ tubuh manusia. Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran. Otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses peradangan lama yang kompleks.
Seperti pada penderita intoleransi makanan, mungkin juga pada alergi makanan terdapat gangguan metabolisme sulfat pada tubuh. Gangguan Metabolisme sulfat juga diduga sebagai penyebab gangguan ke otak. Bahan makanan mengandung sulfur yang masuk ke tubuh melalui konjugasi fenol dirubah menjadi sulfat dibuang melalui urine. Pada penderita alergi yang mengganggu saluran cerna diduga juga terjadi proses gangguan metabolisme sulfur. Gangguan ini mengakibatkan gangguan pengeluaran sulfat melalui urine, metabolisme sulfur tersebut berubah menjadi sulfit. Sulfit inilah yang menggakibatkan gangguan kulit (gatal) pada penderita. Diduga sulfit dan beberapa zat toksin inilah yang dapat menganggu fungsi otak. Gangguan tersebut mengakibatkan zat kimiawi dan beracun tertentu yang tidak dapat dikeluarkan tubuh sehingga dapat mengganggu otak.
Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak penelitian. Sedangkan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik tersendiri. Para peneliti melaporkan pada penderita alergi terdapat penurunan hormon seperti kortisol, metabolik. Hormon progesteron dan adrenalin tampak cenderung meningkat bila proses alergi itu timbul. Perubahan hormonal tersebut ternyata dapat mempengaruhi fungsi susunan saraf pusat atau otak . Diantaranya dapat mengakibatkan keluhan gangguan emosi, gampang marah, kecemasan, panik, sakit

MANIFESTASI KLINIS GANGGUAN OTAK DAN PERILAKU
Gangguan susunan saraf pusat atau otak tersebut dapat berupa neuroanatomis dan neurofisiologis. Gangguan neuroanatomis karena makanan biasanya sudah tampak sejak bayi. Pada bayi tampak lebih sensitif, sering mudah kaget dengan rangsangan suara atau cahaya, gemetar terutama tangan, kaki dan bibir, bahkan sampai epilepsi atau kejang. Pada anak yang lebih besar tampak sering sakit kepala, vertogo, migrain, nigtagmus (mata juling) atau ticks (mata sering berkedip). Reaksi makanan pada penyakit celiac gangguan neurologis yang sering dilaporkan adalah epilepsi, myoclonic ataxia (Ramsay-Hunt syndrome), cerebellar ataxia, spinocerebellar dan cerebellar, peripheral neuropathy, myelopathy, brainstem encephalitis, dan chronic progressive leukoencephalopathy.
Selain gangguan neuroanatomis reaksi simpang makanan dapat mengganggu fungsi neurofisiologis seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan tidur, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi, ADHD hingga memperberat gejala Autisme.

Tabel 1. Gangguan perilaku yang sering dikaitkan dengan Reaksi Simpang Makanan.
· GERAKAN MOTORIK BERLEBIHAN
usia <> 6 bulan bila digendong sering minta turun atau sering bergerak/sering menggerakkan kepala ke belakang-membentur benturkan kepala. Sering bergulung-gulung di kasur, menjatuhkan badan di kasur (“smackdown”}, sering memanjat. Gejala “Tomboy” pada anak perempuan.
· GANGGUAN TIDUR (biasanya MALAM-PAGI) gelisah/bolak-balik ujung ke ujung, bila tidur posisi “nungging”, berbicara/tertawa/berteriak dalam tidur, sulit tidur, malam sering terbangun/duduk, gelisah saat memulai tidur, gigi gemeretak (beradu gigi), tidur ngorok
· AGRESIF sering memukul kepala sendiri,orang atau benda di sekitarnya. Sering menggigit, mencubit, menjambak (spt “gemes”)
· GANGGUAN KONSENTRASI : CEPAT BOSAN terhadap sesuatu aktifitas (kecuali menonton televisi, baca komik atau main game), TIDAK BISA BELAJAR LAMA, terburu-buru, tidak mau antri, TIDAK TELITI, sering kehilangan barang atau sering lupa, nilai pelajaran naik turun drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Sulit menyelesaikan pelajaran sekolah dengan baik.Sering mengobrol dan mengganggu teman saat pelajaran. BIASANYA ANAK TAMPAK CERDAS DAN PINTAR.
· GANGGUAN EMOSI (mudah marah, sering berteriak /mengamuk/tantrum), keras kepala, suka membantah dan sulit diatur. Cengeng atau mudah menangis.
· GANGGUAN PERKEMBANGAN MOTORIK :
Tidak bisa BOLAK-BALIK, DUDUK, MERANGKAK sesuai usia. Berjalan sering terjatuh dan terburu-buru, sering menabrak, jalan jinjit, duduk leter W/kaki ke belakang.
· KETERLAMBATAN BICARA
Tidak mengeluarkan kata umur <> 2 tahun membaik.
· IMPULSIF : banyak bicara/tertawa berlebihan, sering memotong pembicaraan orang lain
· Memperberat gejala HIPERAKTIF (ADHD/ADD), AUTISME dan GANGGUAN SPEKTRUM AUTISM lainnya


















MAKANAN PENYEBAB REAKSI SIMPANG MAKANAN
Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung atau melalui mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik misalnya pemberian panas dan tekanan dapat mengurangi imunogenisitas sampai derajat tertentu. Makanan penyebab alergi yang paling sering adalah ikan laut, telor, susu sapi, buah-buahan dan kacang-kacangan.
Terdapat juga beberapa makanan yang dapat mengganggu otak tetapi tidak melalui reaksi imunologi melainkan karena intoleransi makanan diantaranya adalah salisilat, tartarzine (zat pewarna makanan), nitrat, amine, MSG(monosodium Glutamat), antioksidan, jamur, laktose, benzoote. Makanan yang mengandung salisilat adalah ditemukan dalam buah, saur, kacang, the, kopi, bir, anggur dan obat-obatan seperti aspirherbs, spices, spreads, teh dan kopi, jus, bir, dan minuman anggur dan obat=obatan seperti aspirin. Konsestrasi tinggi terdapat dalam buah kering seperti sultanas. Tartarzine didapatkan pada makanan sosis, Amines sering diproduksi selama fermentasi dan pemecahan protein ditemukan dalam keju, coklat, anggur, bir, tempe, sayur dan buah seperti pisang, alpukat dan tomat. Benzoat ditemukan dalam beberapa buah, sayur, kacang, anggur, kopi dan sebagainya. Glutamat banyak didapatkan pada tomat, keju, mushrooms, saus, ekstrak daging dan jamur. Monosodium Glutamat sering ditemukan pada penyedap makanan : vetsin, kecap, atau makanan lannya..
Zat aditif makanan yang dapat mengganggu saluran cerna dan gangguan otak adalah bahan pengawet, bahan pewarna, bahan pemutih, emulsifier, enzim, bahan penetap, bahan pelapis atau pengkilat, bahan Pengatur pH, bahan pemisah, perubah patiu, ragi makanan, pelarut untuk ekstraksi, bahan pemanis atau pembawa bahan anti pembekuan. Sedangkan makanan yang mengganggu pada penderita celiac adalah berupa gluten atau tepung terigu dan makanan derivatnya.

PENATALAKSANAAN
Penanganan terbaik pada penderita gangguan reaksi simpang makanan adalah dengan menghindari makanan penyebabnya. Untuk mengetahui jenis reaksi simpang makanan, harus dilakukan anamnesis riwayat keluhan yang cermat, pemeriksaan fisik dan eliminasi provokasi. Disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratotium penunjang untuk membedakan apakah suatu alergi makanan, intoleransi makanan, penyakit celiac atau reaksi makanan lainnya. Pemberian ensim, obat-obatan dan vitamin lainnya dalam jangka panjang adalah bukti kegagalan dalam mengidentifikasi makanan penyebab reaksi simpang makanan tersebut. Mengenali secara cermat gejala reaksi simpang makanan dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, maka gangguan pada saluran cerna, sistem susunan saraf pusat dan gangguan perilaku dapat dikurangi.
Penanganan reaksi simpang makanan dengan gangguan perilaku harus dilakukan secara holistik. Selain menghindari makanan penyebab maka diperlukan penanganan multidisiplin ilmu kesehatan anak. Bila perlu harus melibatkan bidang neurologi, psikiater, tumbuh kembang, endokrinologi, alergi, gastroenterologi dan bidang ilmu kesehatan anak lainnya





DAFTAR PUSTAKA

1. Reingardt D, Scgmidt E. Food Allergy.Newyork:Raven Press,1988.
2. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, van Aalderen WM. Role of serum cortisol levels in children with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2002 Mar 1;165(5):708-12 Related Articles, Books, LinkOut
3. Lynch JS. Hormonal influences on rhinitis in women. Program and abstracts of 4th Annual Conference of the National Association of Nurse Practitioners in Women's Health. October 10-13, 2001; Orlando, Florida. Concurrent Session K New England Journal of Medicine 1998:1246142-156.
4. Bazyka AP, Logunov VP. Effect of allergens on the reaction of the central and autonomic nervous systems in sensitized patients with various dermatoses] Vestn Dermatol Venerol 1976 Jan;(1):9-14
5. Stubner UP, Gruber D, Berger UE, Toth J, Marks B, Huber J, Horak F. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999 Aug;54(8):865-71
6. Renzoni E, Beltrami V, Sestini P, Pompella A, Menchetti G, Zappella M. Brief report: allergological evaluation of children with autism.: J Autism Dev Disord 1995 Jun;25(3):327-33
7. D S N A Pengiran Tengah, A J Wills, G K T Holmes. Neurological complications of coeliac disease Postgraduate Medical Journal 2002;78:393-398
8. Wills AJ, Turner B, Lock RJ, et al. Dermatitis herpetiformis and neurological dysfunction. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;72:259–61
9. Luostarinen L, Pirttila T, Collin P. Coeliac disease presenting with neurological disorders. Eur Neurol 1999;42:132–5
10. Hadjivassiliou M, Gibson A, Davies-Jones GA, et al. Does cryptic gluten sensitivity play a part in neurological illness? Lancet 1996;347:369–71
11. Lahat E, Broide E, Leshem M, et al. Prevalence of celiac antibodies in children with neurologic disorders. Pediatr Neurol 2000;22:393–6.
12. Judarwanto W. Dietery Intervention as a therapy for Sleep Difficulty in Children with Gastrointestinal Allergy, dipresentasikan pada “24TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCÚN MÉXICO”, 15-20 Agustus,2004.
Judarwanto W. Dietery Intervention as a Therapy for Behaviour Problems in Children with Gastrointestinal Allergy. Dipresentasikan pada World Congress Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition tanggal 2 – 7 Juli 2004 di Paris Perancis.
Judarwanto W. Dietery Intervention as a therapy for Headache in Children with Gastrointestinal Allergy”; dipresentasikan pada “8th Asian & Oceanian Congress of Child Neurology, Newdelhi India”, 7 – 10 Oktober, 2004.
Menage P, Thibault G, Martineau J, Herault J, Muh JP, Barthelemy C, Lelord G, Bardos P. An IgE mechanism in autistic hypersensitivity? .Biol Psychiatry 1992 Jan 15;31(2):210-2
Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3.
Connoly AM et al. Serum autoantibodies to brain in Landau-Kleffner variant, Autism and other neurolic disorders. J Pediatr 1999;134:607-613
Vodjani A et al, Antibodies to neuron-specific antigens in children with autism: possible cross- reaction with encephalitogenic proteins from milk, Chlamydia pneumoniae, and Streptococcus group A. J Neuroimmunol 2002, 129:168-177.
Lucarelli S, Frediani T, Zingoni AM, Ferruzzi F, Giardini O, Quintieri F, Barbato M, D'Eufemia P, Cardi E. Food allergy and infantile autism. Panminerva Med. 1995 Sep;37(3):137-41.
O'Banion D, Armstrong B, Cummings RA, Stange J. Disruptive behavior: a dietary approach. J Autism Child Schizophr 1978 Sep;8(3):325-37.
El-Fawal HAN et al, Neuroimmunotoxicology : Humoral assessment of neurotoxicity and autyoimmune mechanisms. Environ Health Perspect 1999;107(supp 5):767-775.
Warren RP et al. Immunogenetic studies in Autism and related disorders. Molec Clin Neuropathol 1996;28;77-81.
Sing VK et Al. Antibodies to myelin basic protein in children with autistic behaviour. Brain Behav Immunol 1993;7;97-103.
Sing VK et al. Circulating autoantibodies to neuronal and glial filament protein in autism. Pediatr Neurol 1997;17:88-90.
Egger J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985: 540-5
Loblay, R & Swain, A. Food intolerance In Wahlqvist M and Truswell, A (Eds) Recent Advances in Clinical Nutrition. John Libby, London. 1086.pp.1659-177.
Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342.
Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone.
Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour.
Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.
William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling, William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.
Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003
Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64.
Doris J Rapp. Allergies and the Hyperactive Child
Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy 1984;14:499-500.

Tuesday, March 07, 2006

ATASI GANGGUAN TIDUR ANAK


GANGGUAN TIDUR DAN ALERGI MAKANAN
Dr Widodo Judarwanto SpA
ALLERGY BEHAVIOUR CLINiC
PICKY EATERS CLINIC (Klinik kesulitan makan)
JL Rawasari Selatan 50, Cempaka Putih Jakarta Pusat
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
Rumah Sakit Bunda Jakarta, Jl Teuku cikditiro 28 Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 - 4264126 – 31922005
email :
wido25@hotmail.com , htpp://www.childrenfamily.com

Gangguan tidur banyak penyebabnya, alergi makanan pada anak tampaknya sebagai salah satu penyebab yang paling sering. Seorang pakar alergi dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pada penderita asma dan alergi sering disertai oleh adanya gangguan tidur berupa sering terjaga waktu tidur, lama tidur lebih pendek dan gangguan tidur lainnya.
Penulis telah melakukan pengamatan pada 245 anak dengan gangguan pencernaan karena alergi, didapatkan 80% anak mengalami gangguan tidur malam. Setelah dilakukan penatalaksanaan diet alergi, menunjukkan 90% penderita tersebut terdapat perbaikan gangguan tidurnya.

Gangguan tidur pada alergi bisa terjadi sejak bayi. Pada penelitian penulis menunjukkan bahwa bayi yang beresiko dan mempunyai gejala alergi sejak lahir sering pada 3 bulan pertama mengalami kesulitan tidur terutama pada malam hari. Biasanya bayi sering terbangun terutama tengah malam hingga menjelang pagi, kadang disertai sering rewel dan menangis pada malam hari.
Bila berat biasanya disertai dengan keluhan kolik (menangis histeris yang tidak diketahui sebabnya). Pada usia yang lebih besar biasanya ditandai dengan awal jam tidur yang larut malam, tidur sering gelisah (bolak balik posisi badannya), kadang dalam keadaan tidur sering mengigau, menangis dan berteriak. Posisi tidurpun sering berpindah dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Tengah malam sering terjaga tidurnya hingga pagi hari, tiba-tiba duduk kemudian tidur lagi.

Pada anak usia sekolah, remaja dan dewasa biasanya ditandai dengan mimpi buruk pada malam hari. Mimpi buruk yang tersering dialami adalah mimpi yang menyeramkan seperti didatangi orang yang sudah meninggal atau bertemu binatang yang menakutkan seperti ular
BAGAIMANAKAH GEJALA ALERGI ?
MANIFESTASI KLINIS YANG BERKAITAN DENGAN ALERGI PADA BAYI :

o Kulit sensitif, sering timbul bintik atau bisul kemerahan terutama di pipi, telinga dan daerah yang tertutup popok. Kerak di daerah rambut.Timbul bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Kotoran telinga berlebihan. Kulit Kepala Berkerak
o Sering muntah/gumoh, kembung,“cegukan”, sering buang angin, sering “ngeden /mulet”, sering REWEL atau GELISAH atau COLIK terutama malam hari), Sering buang air besar (> 3 kali perhari), tidak BAB tiap hari, BERAK DARAH.
o Lidah/mulut sering timbul putih,
o Napas grok-grok, kadang disertai batuk ringan, terutama malam dan pagi hari
o Sesak bayi baru lahir disertai kelenjar thimus membesar (TRDN/TTNB)
o Sering bersin, pilek, kotoran hidung banyak, BILA TIDUR kepala sering miring ke salah satu sisi karena hidung buntu SEBELAH. Minum ASI sering tersedak atau minum dominan hanya satu sisi bagian payudara.
o Mata sering berair atau sering timbul kotoran mata (belekan) salah satu sisi/kedua sisi.
o Sering berkeringat (berlebihan)
o Berat Badan lebih/kegemukan (umur <1tahun)>


MANIFESTASI KLINIS YANG BERKAITAN DENGAN ALERGI PADA ANAK

· Sering batuk, batuk lama (>2 minggu), pilek, (TERUTAMA MALAM DAN PAGI HARI siang hari hilang) sinusitis, bersin, mimisan. tonsilitis (amandel), sesak, suara serak.
· Pembesaran kelenjar di leher dan kepala belakang bawah.
· Sering lebam kebiruan pada kaki/tangan seperti bekas terbentur.
· Kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Sering menggosok mata, hidung atau telinga. Kotoran telinga berlebihan.
· Nyeri otot & tulang berulang malam hari. Sering kencing, Bed wetting (Ngompol)
· Sering muntah , nyeri perut, SULIT MAKAN disertai berat badan kurang (biasanya setelah umur 4-6 bulan).
· Sering sariawan, lidah sering putih/kotor nyeri gusi/gigi, mulut berbau, air liur berlebihan, bibir kering.
· Sering Buang air besar (> 2 kali/hari), sulit buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil hitam seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin, berak di celana.
· Tidur larut malam/sering terbangun.
· Kepala,telapak kaki/tangan sering teraba hangat.Sering berkeringat (berlebihan)
· Mata gatal, timbul bintil di kelopak mata, mata sering berkedip, memakai kaca mata sejak usia sangat muda (usia 6-12 tahun).
· Gangguan hormonal : tumbuh rambut berlebihadi kaki/tangan, keputihan.
· Sering sakit kepala, migrain.

ALERGI SERING DIKAITKAN DENGAN GANGGUAN OTAK/PERILAKU
(“BRAIN ALLERGY” / CEREBRAL ALLERGY)

· GERAKAN MOTORIK BERLEBIHAN
usia <> 6 bulan bila digendong sering minta turun atau sering bergerak/sering menggerakkan kepala ke belakang-membentur benturkan kepala. Sering bergulung-gulung di kasur, menjatuhkan badan di kasur (“smackdown”}, sering memanjat. Perilaku “TOMBOY” pada anak perempuan
· GANGGUAN TIDUR (biasanya MALAM-PAGI) gelisah/bolak-balik ujung ke ujung, bila tidur posisi “nungging”, berbicara/tertawa/berteriak dlm tidur, sulit tidur, PADA ANAK LEBIH BESAR malam sering terbangun/duduk,mimpi buruk, “beradu gigi”
· AGRESIF sering memukul kepala sendiri,orang atau benda di sekitarnya. Sering menggigit, menjilat, mencubit, menjambak (spt “gemes”)
· GANGGUAN KONSENTRASI : GANGGUAN KONSENTRASI DAN GANGGUAN BELAJAR : CEPAT BOSAN terhadap sesuatu aktifitas (kecuali menonton televisi, baca komik atau main game), TIDAK BISA BELAJAR LAMA, terburu-buru, tidak mau antri, TIDAK TELITI, sering kehilangan barang atau sering lupa, nilai pelajaran naik turun drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Sulit menyelesaikan pelajaran sekolah dengan baik.Sering mengobrol dan mengganggu teman saat pelajaran. ANAK TAMPAK CERDAS DAN PINTAR.
· GANGGUAN KOORDINASI :
BOLAK-BALIK, DUDUK, MERANGKAK tidak sesuai usia. Berjalan sering terjatuh dan terburu-buru, sering menabrak, jalan jinjit, duduk leter W/kaki ke belakang.
· KETERLAMBATAN BICARA Tidak mengeluarkan kata umur <> 2 tahun membaik.
· IMPULSIF : banyak bicara/tertawa berlebihan, sering memotong pembicaraan orang lain)
· Memperberat gejala ADHD (hiperaktif) dan AUTISME (hiperaktif, keterlambatan bicara, gangguan sosialisasi)