Monday, March 13, 2006

ALERGI MAKANAN DAN GANGGUAN PERILAKU ANAK

Widodo Judarwanto, Rumah Sakit Bunda Jakarta


Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak.
Alergi pada anak tidak sesederhana seperti yang pernah kita ketahui. Sebelumnya kita sering mendengar dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter anak, dokter spesialis yang lain bahwa alergi itu gejala adalah batuk, pilek, sesak dan gatal. Padahal alergi dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Beberapa peneliti menyebutkan manifestasi gejala tersebut dengan istilah “Brain Allergy” atau “Cerebral Allergy”. Karena gangguan fungsi otak itulah maka timbul gangguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga autism.
Resiko dan tanda alergi dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam kandunganpun kadang-kadang sudah dapat terdeteksi. Alergi itu dapat dicegah sejak dini dan diharapkan dapat mengoptimalkan tumbuh dan kembang anak secara optimal.


ALERGI MAKANAN
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan system tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasaranya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV.
Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi murni, Banyak terjadi penggunaan istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari makanan, baik yang imunologik atau non imunologik. Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and immunology,The National Institute of Allergy and infections disease yaitu :
Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions) : istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan (hipersensitifiotas) atau intoleransi makanan.
Sedangkan intoleransi Makanan (Food intolerance) adalah reaksi makanan nonimunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase atau respon idiosinkrasi pada pejamu
MANISFESTASI KLINIK
Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi tidak menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan depannya diare selanjutrnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana keluhan yang berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas dasar target organ (organ sasaran).
Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan karena proses alergi pada seseorang anak yang dapat menggganggu semua sistem tubuh dan organ tubuh anak.. Organ tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih banyak dari organ yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak terungkap. Gejala tergantung dari organ atau sistem tubuh , bisa terpengaruh bisa melemah. Jika organ sasarannya paru bisa menimbulkan batuk atau sesak, bila pada kulit terjadi dermatitis atopik. Tak terkecuali otakpun dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi organ terpeka pada manusia adalah otak, sehingga dapat dibayangkan banyaknya gangguan yang bisa terjadi.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dan patogenesis alergi mengganggu system susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang bisa menjelaskan, diantaranya adalah : Alergi makanan mengganggu organ sasaran, Teori Abdominal Brain dan Enteric Nervous Sistem, pengaruh reaksi hormonal pada alergi, teori Metabolisme sulfat
Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan inflamasi. Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang kompleks.
Pada alergi dapat menimbulkan gangguan pencernaan baik karena kerusakan dinding saluran pencernan atau karena disfungsi sistem imun itu sendiri. Sedangkan gangguan pencernaan itu sendiri ternyata dapat mempengaruhi system susunan saraf pusat termasuk fungsi otak.Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal Hypermeability atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Golan dan Strauss tahun 1986 melaporkan adanya Abdominal epilepsy, yaitu adanya gangguan pencernaan yang dapat mengakibatkan epilepsi.
Gangguan Metabolisme sulfat juga diduga sebagai penyebab gangguan ke otak. Bahan makanan mengandung sulfur yang masuk ke tubuh melalui konjugasi fenol dirubah menjadi sulfat dibuang melalui urine. Pada penderita alergi yang mengganggu saluran cerna diduga juga terjadi proses gangguan metabolisme sulfur. Gangguan ini mengakibatkan gangguan pengeluaran sulfat melalui urine, metabolisme sulfur tersebut berubah menjadi sulfit. Sulfit inilah yang mengganggu organ kulit penderita. Diduga sulfit dan beberapa zat toksin inilah yang dapat menganggu fungsi otak.
Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak penelitian. Sedangatan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik tersendiri. Lynch JS tahun 2001 mengemukakan bahwa pengaruh hormonal juga terjadi pada penderita rhinitis alergika pada kehamilan. Sedangkan Landstra dkk tahun 2001 melaporkan terjadi perubahan penurunan secara bermakna hormone cortisol pada penderita asma bronchial saat malam hari. Penemuan bermakna dilaporkan Kretszh dan konitzky 1998, bahwa hormon alergi mempengarugi beberapa manifestasi klinis sepereti endometriosis dan premenstrual syndrome. Beberapa laporan lainnya menunjukkan keterkaitan alergi dengan perubahan hormonal diantaranya adalah cortisol, metabolic, progesterone dan adrenalin.
Pada penderita alergi didapatkan penurunan hormon kortisol, esterogen dan metabolik. Penurunan hormone cortisol dapat menyebabkan allergy fatigue stresse, sedangkan penurunan hormone metabolic dapat mengakibatkan perubahan berat badan yang bermakna. Hormona lain uang menurun adalah hormone esterogen. Alergi juga dikaitkan dengan peningkatan hormon adrenalin dan progesterone. Peningkatan hormon adrenalin menimbulkan manifestasi klinis mood swing, dan kecemasan. Sedangkan penongkatan hormone progesterone mengakibatkan gangguan kulit, Pre menstrual Syndrome, Fatigue dan kerontokan rambut.
Gambar 1 . Beberapa Hormon yang berkaitan dengan alergi dan gejalanya
Gambar 2. Hubungan biologis antara sistem imun dengan Sistem Susunan Saraf Pusat berkaitan dengan hormonal.
ALERGI, SISTEM SUSUNAN SARAF PUSAT DAN GANGGUAN PERKEMBANGAN- PERILAKU
Sistem susunan saraf pusat adalah bagian yang paling lemah dan sensitif dibandingkan organ tubuh lainnya. Otak adalah merupakan pusat segala koordinasi sistem tubuh dan fungsi luhur. Sedangkan alergi dengan berbagai akibat yang bisa mengganggu organ sistem susunan saraf pusat dan disfungsi sistem imun itu sendiri tampaknya menimbulkan banyak manifestasi klinik yang dapat mengganggu perkembangan dan perilaku seorang anak.
Dampak Penyakit Alergi pada Fungsi Otak, diamati oleh G. Kay, Associate Professor Neurology dan Psychology Georgetown University School of Medicine Washington. Dampak penyakit alergi pada fungsi otak bermanifestasi sebagai menurunnya kualitas hidup, menurunnya suasana kerja yang baik, dan menurunnya efisiensi fungsi kognitif. Pasien dengan rinitis alergik dilaporkan mengalami penurunan kualitas hidup yang sama dengan yang dialami pasien-pasien dengan asma atau penyakit kronik serius lainnya. Penyakit alergi tidak saja mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tetapi juga mengganggu aktivitas di waktu luang.
Beberapa studi empiris menunjukkan efek alergi terhadap fungsi kognitif dan mood. Marshall dan Colon tahun 1989 membuktikan bahwa pada kelompok pasien dengan rinitis alergi musiman mempunyai fungsi belajar verbal dan mood yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa serangan alergi. Pada dua penelitian yang dilakukan oleh Vuurman, dkk dibuktikan bahwa kemampuan mengerjakan tugas sekolah pada murid-murid penderita alergi lebih buruk dibandingkan kemampuan murid-murid lain dengan usia dan IQ yang sesuai tetapi tidak memiliki bakat alergi (non-atopik).
Beberapa peneliti lain menunjukkan adanya hubungan antara penyakit alergi dengan gangguan kepribadian seperti sifat pemalu dan sifat agresif. Pada tes kepribadian dapat terlihat bahwa pasien-pasien alergi lebih bersifat mengutamakan tindakan fisik, lebih sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, dan mempunyai mekanisme defensif yang kurang baik. Jumlah serangan alergi yang dilaporkan oleh pasien ternyata berhubungan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Alergi yang berkaitan dengan gangguan system susunan saraf pusat dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinik, diantara dapat mengganggu neuroanatomi dan neuroanatomi fungsional.

GANGGUAN NEUROANATOMI
Alergi dengan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan gangguan neuroanatomi tubuh dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti sakit kepala, migrain, vertigo, kehilangan sesaat memori (lupa). Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut, misalnya Krotzky tahun 1992 mengatakan migraine, vertigo dan sakit kepala dapat disebabkan karena makanan alergi atau kimiawi lainnya.
Strel'bitskaia tahun 1974 mengemukakan bahwa pada penderita asma didapat gangguan aktifitas listrik di otak, meskipun saat itu belum bisa dilaporkan kaitannya dengan manifestasi klinik.

GANGGUAN NEURO ANATOMI FUNGSIONAL DAN GANGGUAN PERKEMBANGAN DAN PERILAKU
Reaksi alergi dengan berbagai manifestasi klinik ke sistem susunan saraf pusat dapat mengganggu neuroanatomi fungsional, selanjutnya akan mengganggu perkembangan dan perilaku pada anak.Yang dimaksud dengan gangguan perkembangan adalah gangguan fungsi psikomotor yang mencakup fungsi mental dan fungsi motorik. Anggota gerak atau organ tulang rangka dapat juga terkena gangguan perkembangan.























GANGGUAN PERILAKU YANG SERING DIKAITANKAN DENGAN ALERGI MAKANAN
· GERAKAN MOTORIK BERLEBIHAN
usia <> 6 bulan bila digendong sering minta turun atau sering bergerak/sering menggerakkan kepala ke belakang-membentur benturkan kepala. Sering bergulung-gulung di kasur, menjatuhkan badan di kasur (“smackdown”}, sering memanjat. Gejala “Tomboy” pada anak perempuan.
· GANGGUAN TIDUR (biasanya MALAM-PAGI) gelisah/bolak-balik ujung ke ujung, bila tidur posisi “nungging”, berbicara/tertawa/berteriak dalam tidur, sulit tidur, malam sering terbangun/duduk, gelisah saat memulai tidur, gigi gemeretak (beradu gigi), tidur ngorok
· AGRESIF sering memukul kepala sendiri,orang atau benda di sekitarnya. Sering menggigit, mencubit, menjambak (spt “gemes”)
· GANGGUAN KONSENTRASI : CEPAT BOSAN terhadap sesuatu aktifitas (kecuali menonton televisi, baca komik atau main game), TIDAK BISA BELAJAR LAMA, terburu-buru, tidak mau antri, TIDAK TELITI, sering kehilangan barang atau sering lupa, nilai pelajaran naik turun drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Sulit menyelesaikan pelajaran sekolah dengan baik.Sering mengobrol dan mengganggu teman saat pelajaran. BIASANYA ANAK TAMPAK CERDAS DAN PINTAR.
· GANGGUAN EMOSI (mudah marah, sering berteriak /mengamuk/tantrum), keras kepala, suka membantah dan sulit diatur. Cengeng atau mudah menangis.
· GANGGUAN PERKEMBANGAN MOTORIK :
Tidak bisa BOLAK-BALIK, DUDUK, MERANGKAK sesuai usia. Berjalan sering terjatuh dan terburu-buru, sering menabrak, jalan jinjit, duduk leter W/kaki ke belakang.
· KETERLAMBATAN BICARA
Tidak mengeluarkan kata umur <> 2 tahun membaik.
· IMPULSIF : banyak bicara/tertawa berlebihan, sering memotong pembicaraan orang lain
· Memperberat gejala HIPERAKTIF (ADHD/ADD) dan AUTISME



































PENATALAKSANAAN
Penanganan alergi pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut.
Obat-obatan simtomatis, anti histamine (AHi dan AH2), ketotifen, ketotIfen, kortikosteroid, serta inhibitor sintesaseprostaglandin hanya dapat mengurangi gejala sementara, tetapi umumnya mempunyai efisiensi rendah. Sedangkan penggunaan imunoterapi dan natrium kromogilat peroral masih menjadi kontroversi hingga sekarang.
Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lain harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik, sistemik atau psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak.
Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan manifestasi alergi lainnya jelas pada anak tersebut, maka tidak ada salahnya dilakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan eliminasi terbuka. Pengobatan tersebut harus dievaluasi dalam 3 minggu dengan memakai catatan harian. Bila gangguan perkembangan dan perilaku tersebut terdapat perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa gangguan tersebut penyebab atau pencetusnya adalah alergi makanan.
Sedangkan untuk mengatasi gejala gangguan perkembangan dan perilaku yang sudah ada dapat dilakukan pendekatan terapi dengan terapi okupasi, terapi bicara, terapi sensory integration, hearing atau vision therapy dan sebagainya.

PROGNOSIS
Prognosis gangguan perkembangan dan perilaku yang berkaitan dengan alergi tergantung dari ada tidaknya kelainan organik otak seperti autism atau adanya fokus di otak. Bila dipastikan tidak ada kelainan anatomis otak maka prognosisnya akan lebih baik. Biasanya bila gangguan tersebut dikendalikan maka akan terlihat secara drastis perbaikkan gangguan perkembangan dan perilaku tersebut. Pada gangguan jenis ini usia di atas 2 hingga 5 tahun ada kecenderungan membaik.
Namun bila didapatkan autism atau gangguan organik otak lainnya maka prognosisnya lebih buruk. Namun bila gangguan tersebut diperberat oleh pencetus alergi maka penatalaksanaan alergi dengan pengaturan diet akan sangat banyak membantu mengoptimalkan kemampuan hidup penderita.
PENUTUP
Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang diketahui. Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu dan bahaya komplikasi yang terjadi tampaknya merupakan akibat yang harus lebih diperhatikan demi terbentuknya tumbuhan dan kembang anak yang optimal.
Gangguan alergi dapat menggganggu neuroanatomis dan neuroanatomis fungsional yang mengkibatkan gangguan perkembangan dan perilaku pada anak. Resiko dan gejala alergi bisa diketahui dan di deteksi sejak dalam kandungan dan sejak lahir, sehingga pencegahan gejala alergi dapat dilakukan sedini mungkin. Resiko terjadinya komplikasi dan gangguan sistem susunan saraf pusat diharapkan dapat dikurangi.
Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lainnya adalah harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik, sistemik atau psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak. Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan gangguan anatomis otak belum jelas maka bisa saja dilakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan diet eliminasi terbuka evaluasi perubahan atau perbaikan dari gangguan perilaku yang timbul.

X. Daftar Pustaka

1. Bazyka AP, Logunov VP. Effect of allergens on the reaction of the central and autonomic nervous systems in sensitized patients with various dermatoses] Vestn Dermatol Venerol 1976 Jan;(1):9-14
2. Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy 1984;14:499-500.
3. Boris, M & Mandel, E. Food additives are common causes of the Attention Deficit Hyperactivity Disorder in Children. Annals of Allergy 1994; 75(5); 462-8
4. Carter, C M et al. Effects of a few foods diet in attention deficit disorder. Archives of Disease in Childhood (69) 1993; 564-8
5. Costa M, Brookes SJ. The enteric nervous system. Am J Gastroenterol 1994;89:S29-137.
6. Doris J Rapp. Allergies and the Hyperactive Child
7. Egger, J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985: 540-5
8. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, van Aalderen WM. Role of serum cortisol levels in children with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2002 Mar 1;165(5):708-12 Related Articles, Books, LinkOut
9. Goyal RK, Hirano I. The enteric nervous system. N Engl J Med 1996;334:1106-1115.
10. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64.
11. Harsono A. Alergi makanan. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Ikatan dokter Anak Indonesia jakarta 1996.
12. Judarwanto W. Dietery Intervention as Therapy for behaviour problem in Children with Gastrointestinal Allergy. Presented at World Congress Pediatric Gastroenterology Hepatology Nutrition, Paris, Juli 2004.

13. Judarwanto W. “Dietery Intervention as a therapy for Sleep Difficulty in Children with Gastrointestinal Allergy”; pada “24TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCÚN MÉXICO”, 15-20 Agustus,2004.
14. Judarwanto W.. “Dietery Intervention as a therapy for Headache in Children with Gastrointestinal Allergy”; pada “8th Asian & Oceanian Congress of Child Neurology, Newdelhi India”, 7 – 10 Oktober, 2004.
15. Kretszh, Konitzky. Differential Behavior Effects of Gonadal Steroids in Women And In Those Without Premenstrual
16. Loblay, R & Swain, A. Food intolerance In Wahlqvist M and Truswell, A (Eds) Recent Advances in Clinical Nutrition. John Libby, London. 1086.pp.1659-177.
17. Lynch JS. Hormonal influences on rhinitis in women. Program and abstracts of 4th Annual Conference of the National Association of Nurse Practitioners in Women's Health. October 10-13, 2001; Orlando, Florida. Concurrent Session K New England Journal of Medicine 1998:1246142-156.
18. Menage P, Thibault G, Martineau J, Herault J, Muh JP, Barthelemy C, Lelord G, Bardos P. An IgE mechanism in autistic hypersensitivity? .Biol Psychiatry 1992 Jan 15;31(2):210-2
19. O'Banion D, Armstrong B, Cummings RA, Stange J. Disruptive behavior: a dietary approach. J Autism Child Schizophr 1978 Sep;8(3):325-37
20. Stubner UP, Gruber D, Berger UE, Toth J, Marks B, Huber J, Horak F. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999 Aug;54(8):865-71

21. Renzoni E, Beltrami V, Sestini P, Pompella A, Menchetti G, Zappella M. Brief report: allergological evaluation of children with autism.: J Autism Dev Disord 1995 Jun;25(3):327-33

22. Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3.
23. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003
24. Rowe, K S & Rowe, K L. Synthetic food colouring and behaviour: a dose-response effect in a double-blind, placebo-controled, repeated-measures study. Journal of Paediatrics (125);1994;691-698.
25. Trotsky MB. Neurogenic vascular headaches, food and chemical triggers. Ear Nose Throat J. 1994;73(4):228-230, 225-236.
26. Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342.
27. Vaughan TR. The role of food in the pathogenesis of migraine headache. Clin Rev Allergy 1994;12:167-180.
28. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling, William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.
29. Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone.
30. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour.
31. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home